Selasa, 12 Januari 2016

The Red Door

The Red Door

Cerita horor ini terinspirasi dari sebuah urban legend di Jepang. Cerita ini menceritakan tentang seorang pria yang menjalani perpisahan dengan teman-temannya menjelang kelulusan. Ia menemukan sebuah tempat bagus, tetapi mereka dilarang untuk memasuki sebuah pintu berwarna merah. Ada apa didalamnya? Yang pasti adalah sebuah kesalahan kecil, mungkin saja dapat mengancam nyawamu.


Ketika aku masih kuliah, teman-teman sekampusku bahwa setelah kelulusan, mereka semua ingin pergi ke suatu tempat sebagai perjalanan perpisahan. Mereka ingin mendiskusikan bersamaku karena aku mempunyai rekomendasi tempat-tempat bagus dengan harga yang terjangkau. Ketika mencari referensi-referensi di internet, Aku mendapat sebuah penginapan didaerah perbukitan yang rindang. Tempatnya sangat terpencil dan rindang, jauh dari hingar bingar kota.

Ketika aku melihat beberapa foto penginapan itu, aku menangkap bahwa penginapan itu tidaklah terlalu buruk, bangunannya mungkin memang sudah tua tetapi saya tertarik dengan harganya yang bisa dikatakan murah. Pemandangan di tempat itu juga sangat indah. Sayangnya akses ke penginapan itu tidaklah mudah. Untuk sampai dipenginapannya, kita harus melewati sebuah lereng yang tidak terlalu terjal dan tidak ada transportasi yang dapat melalui jalan setapak itu sehingga kami harus berjalan kaki sejauh 5 mil.

Kami sampai dipenginapan itu ketika matahari mulai terbenam. Kami masuk ke dalam penginapan itu dan menemui pemilik penginapan itu. Pemilik penginapan itu adalah sepasang suami istri yang sudah berumur 50 tahun lebih. Mereka sangat senang dan menyambut kami dengan ramah seperti kami adalah pelanggan pertamanya setelah lama mereka tidak mendapatkan pelanggan.

Kami diberi tahu oleh sang nenek bahwa kami dapat memilih kamar yang kami inginkan. Tetapi jangan pernah mendekati sebuah pintu kamar bercat merah walaupun hanya sebentar. Kami mengangguk mengerti dan pergi memilih kamar kami masing. Kamar yang disediakan hanya sedikit karena penginapan itu tidak terlalu besar. Akhirnya, aku dan temanku bernama Tayoshi mendapat sebuah kamar tepat di depan kamar pintu berwarna merah. Sepertinya itu pintu yang dibicarakan oleh sang nenek itu. Aku masuk dan membereskan barang-barangku dan jatuh tertidur karena kelelahan.

Tengah malam, aku terbangun dengan wajah berkeringat. Aku sangat ingin buang air kecil. Aku ingat bahwa sebelumnya sang pemilik penginapan mengatakan bahwa kamarnya tidak disediakan sebuah kamar mandi. Jadi kami harus menggunakan kamar mandi umum yang ada diluar penginapan. Aku keluar kamar dan mendapati bahwa lorong sangat sepi dan gelap. Hanya cahaya bulan yang masuk dari celah-celah dinding bambu. Aku berlari kecil menuju ke kamar mandi.

Setelah aku selesai, aku kembali ke kamarku. Karena lorong sangatlah gelap aku hanya mencari pintu kamarku dengan meraba dinding dan menghitung pintu yang telah aku lewati. Aku memasuki memutar knop pintu itu. Ketika aku membuka pintu itu, udara dingin langsung menerpa wajahku. Aku memasuki ruangan gelap tersebut dan berpikir bahwa Tayoshi mematikan lampunya ketika aku keluar tadi. Aku menutup pintu itu dan meraba-raba dinding untuk mencari tombol lampu, tetapi tak kunjung ku temukan. Jika aku mengingatnya kembali, tombol lampunya tidak terlalu jauh dari pintu, tetapi setelah meraba-raba sekitar aku tak dapat menemukannya. Aku memanggil-manggil Tayoshi untuk menyalakan lampunya tetapi ia tidak menjawab. Aku merasa firasat buruk akan hal ini.

Otakku langsung mengirimkan sinyal bahwa ada sesuatu yang tidak beres dan menyuruhku untuk segera keluar dari sana. Aku meraba-raba dinding dan tidak menemukan apa-apa ditempatku tadi masuk. Hanya dinding datar yang dingin, lalu kemana pintu yang kumasuki tadi? Ditengah kepanikanku, tiba-tiba ditengah ruangan aku dapat melihat punggung dari seorang wanita yang mengenakan kimono serba putih tengah duduk. Aku tidak sadar sejak kapan ia disana, tetapi ketika aku ingin melanjutkan pencarian pintu tempatku masuk, aku tidak dapat bergerak sedikit pun. Aku seperti membeku dan mataku hanya tertuju pada sosok itu.

Aku dapat merasakan suatu kebencian dan kesedihan dari wanita tersebut. Aku hanya dapat menatap punggung dan rambut panjang wanita itu tanpa bisa berbuat apa-apa. Beberapa menit kemudian ia mulai menegakan kepalanya yang sebelumnya tertunduk. Ia seperti menyadari kehadiranku disini.

Aku dapat melihat ia memutar kepalanya dan berbalik untuk melihatku. Wanita itu terus memutar kepalanya hingga melewati batas seorang manusia untuk memutar kepalanya. Ia dapat memutar kepalanya hingga 180 derajat dengan tubuh yang tidak bergerak sama sekali dari tempatnya. Aku dapat melihat wajahnya sekarang, tidak ada apa-apa diwajahnya, hanya polos seperti kulit biasa. Tidak ada mulut ataupun hidung. Ditempat dimana matanya berada hanya ada sepasang lubang hitam dengan tetesan darah yang keluar darinya. Aku ingin berteriak tapi aku tak bisa. Aku ingin berlari tapi aku tak bisa. Aku hanya dapat melihatnya tanpa bisa mengalihkan pandanganku padanya.

Wanita itu bangun dan berdiri, tetapi tak lama kemudian dia terjatuh telentang dengan mukanya yang tetap menghadap kebawah. Tiba-tiba ia membuat sebuah gerakan dengan kaki dan tangannya dan berjalan seperti laba-laba. Aku sungguh tak bisa menggambarkan yang terjadi. Tetapi aku dapat melihat bahwa persendian wanita itu sangatlah abnormal. Jika manusia dapat menekuk lengannya ke atas, lengan wanita itu menekuk ke bawah dan berjalan dengannya.

Wanita itu berjalan seperti laba-laba dan mulai menghampiriku dengan pelan. Aku ingin menangis dibuatnya. Dalam hatiku aku terus berteriak untuk bangun jika ini adalah mimpi buruk. Aku terus berdoa kepada tuhan semoga ini tidak nyata. Wanita itu berhenti sebentar dan tiba-tiba berlari kencang ke arah ku. Tetap dengan posisinya yang seperti laba-laba. Entah keberuntunganku atau bukan, tiba-tiba aku dapat menggerakan tubuhku. Aku langsung meraih sesuatu yang aku pikir adalah knop pintu dan membukanya. Ketika aku berada diluar aku langsung menutup pintu itu dengan cepat.

Aku terengah-engah dan sangat ketakutan. Tetapi disaat yang bersamaan aku bersyukur karena tuhan masih memberikan kesempatan kepadaku untuk hidup. Ketika aku melihat pintu itu dengan seksama, aku melihat bahwa pintu itu adalah pintu yang dilarang oleh nenek itu untuk dimasuki. Ternyata aku salah memasuki pintu yang ku kira adalah pintu kamarku yang berada tepat didepannya. Malam itu, aku menghabiskan waktuku untuk membereskan barang-barangku untuk bersiap-siap untuk pulang.

Paginya aku menceritakan peristiwa mengerikan semalam kepada seluruh temanku. Tetapi mereka hanya berkata bahwa itu hanya mimpi buruk dan semacamnya. Tetapi aku tidak peduli, aku hanya ingin pulang saat ini. Ketika aku berpamitan kepada sang pemilik penginapan tersebut. Sang nenek tua itu tersenyum dan membisikan sesuatu yang membuat darahku membeku.

"Jangan pulang sekarang.. Ia tahu dimana kamu tinggal"

0 komentar:

Posting Komentar

 

The Dreamland Tree Copyright © 2010 | Designed by: compartidisimo