Selasa, 12 Januari 2016

Restless Leg Syndrome

Restless Leg Syndrome

Sebuah kisah horor tentang zaman dahulu kala, ketika penjajahan masih ada diatas tanah ibu pertiwi. Cerita horor ini berasal dari sebuah website Creepy Pasta yang terkenal. Sebuah cerita horor tentang seorang kakek yang mengalami sebuah penyakit aneh di kakinya. Setelah beberapa lama, ia akhirnya menceritakan sebuah tragedi mengerikan yang ada dibalik penyakitnya tersebut.


 Kakekku menderita sebuah sindrom yang dinamakan sindrom kaki gelisah. Setidaknya, itulah yang dia bilang selama bertahun-tahun. Dia jarang mendapatkan tidur malam yang baik. Kakinya terlalu sakit dan ia harus tetap bangun dan berjalan-jalan untuk mengusir rasa sakit itu.Nenekku mengatakan, bahwa dia menderita penyakit itu sejak dia kembali dari perang. Di hari dimana ia kembali, ia ada di stasiun kereta api untuk menyambutnya. Dia tertatih-tatih, dan beberapa orang sedang menuntunnya. Dia mengatakan, bahwa kakek selalu menolak untuk menggunakan tongkat atau kursi berjalan, tidak peduli berapa lama ia harus berjuang untuk berjalan kaki.Suatu malam yang gelap dan penuh badai, Kakek berjalan dengan pincang menyusuri lorong, dalam perjalanan ke tempat tidur. Aku sedang berjalan di belakangnya untuk memastikan bahwa ia tidak jatuh. Saat itu, ada sebuah kilatan petir menyambar. Waktu itu adalah pertama kali aku melihatnya. aku pikir aku sekilas melihat sesuatu yang melilit kakinya."Apa itu?" Tanyaku terkejut.Ketika kakek sampai ke kamar tidur dan menyalakan lampu, aku bisa melihat tidak ada apa-apa di kakinya."Apa itu di kakimu, kek?" Tanya saya lagi. "Aku pikir aku melihat sesuatu ... hanya untuk sepersekian detik ... sesuatu yang aneh ... Apa itu?""Aku kira sudah saatnya aku bercerita padamu yang sebenarnya," kata Kakek saya sambil berbaring di tempat tidur. "Sebenarnya ini bukan sindrom kaki gelisah. Kejadian itu terjadi selama perang. Pada tahun 1942, saya ditempatkan di Papua Nugini. Aku melihat hal-hal yang mengerikan ... hal mengerikan ... hal-hal yang akan membuat perutmu sakit. Kebanyakan orang yang telah berperang mencoba untuk melupakan kejadian ini... Kamu  mungkin akan mencoba untuk melupakan ini ... Kamu mencoba untuk berhenti berpikir tentang hal itu ... Aku telah mencoba untuk melupakan semua hal itu... tapi saya tidak pernah melupakannya. Bahkan untuk satu hari.""Ketika kami mendarat di Papua, kami semua masih muda dan tidak cukup pengalaman. Kami tidak tahu apa yang akan terjadi pada kita. Kami mendirikan tenda di pantai selatan pulau dan beberapa orang lokal Papua ikut membantu kami dengan menyediakan persediaan bahan makanan. Ada seorang anak kecil Papua yang ditugaskan untuk mengawasi di sekitar kamp kami. Dia mungkin berumur 5 atau 6 tahun. Aku bahkan tidak ingat namanya. ""Aku pikir dia sangat terkesan dengan semua tentara yang mengenakan berseragam. Dia akan berjalan di sekitar kita dan mencoba untuk mendapatkan perhatian semua rekan-rekan untuk bermain dengannya. Dengan tentara Jepang yang masih berada disekitar perkampungan, itu sangat berbahaya untuknya, jadi kami mencoba untuk menakut-nakuti dia pergi. Tidak peduli apa yang kita lakukan, anak kecil itu terus datang kembali. ""Suatu malam, Jepang menyerang kami. Kami kalah jumlah dan mereka nyaris menguasai posisi kami. Aku terbangun dengan suara teriakan dan jeritan di luar tenda. Di sekitar sangat kacau. Tembakan terdengar diseluruh penjuru. Aku sangat ketakutan. Aku bangun dari tempat tidur, meraih sebuah pistol dan bergegas untuk bergabung di pertempuran. ""Dalam kegelapan, aku merasakan sesuatu melilit di kakiku. Aku tidak tahu apa itu. Yang aku tahu adalah bahwa aku harus menyelamatkan posisiku secepat mungkin. Teman-temanku membutuhkanku. Apa pun yang melilit kakiku, aku berada dalam cengkeramannya. Aku hampir tidak bisa bergerak. Waktu itu, keadaan masih gelap gulita dan saya berusaha keras untuk membebaskan diri. Aku mengayunkan ujung senapanku turun dan menembak apa yang mencengkram kakiku, berusaha untuk melepaskan cengkeramannya. ""Tiba-tiba, ada sebuah kilatan petir dan menerangi perkampungan itu untuk sepersekian detik. Aku melihat ke bawah dan aku melihat sepasang mata yang ketakutan menatapku. Darah mengalir di wajahnya. Aku telah menembak kepalanya. Itu adalah anak Papua yang hidup disekitar kamp.

Karena takut, anak Papua kecil itu berlari ke tendaku dan meraih ke kakiku. Aku melihat matanya perlahan memutar hingga tinggal bagian putih saja saat ia menghembuskan nafas terakhir ... tapi ia tidak melepaskan cengkramannya ... Dia tidak pernah melepaskannya ... Dia tidak akan pernah membiarkanku pergi ... "

0 komentar:

Posting Komentar

 

The Dreamland Tree Copyright © 2010 | Designed by: compartidisimo