Minggu, 03 Januari 2016

DIMMING STAR

Ih. Orang itu mengintaiku. Aku tahu, aku tidak sebodoh itu. Aku penasaran, apa sih yang diinginkannya dariku? Padahal kalau dia tidak mengintip dari balik semak seperti itu, aku mungkin mau saja mengajaknya minum teh. Aku, kan, aktris terkenal.

“Hei, kau!” teriakku dari depan pintu. Capek juga diintip selama seminggu. “Sini, minum teh denganku!”

Pemuda itu keluar dengan malu-malu, dan akhirnya kuajak masuk. Dia tampak tidak berbahaya, dan ternyata dia memang penggemarku. Masih muda. Sebenarnya ada banyak hal yang bisa dilakukan anak semuda dia, bukannya jadi pengintai kurang kerjaan yang mengintip-intip di balik semak.

“Anda Joanne Broderick? Anda masih cantik sekali!” pujinya terus menerus sampai wajahku memerah. Sudah lama aku tidak mendengar pujian seperti itu.

“Kau terlalu baik,” kataku. “Kau penggemar film tua?”

“Begitulah,” pemuda itu, Patrick, menjawab dengan penuh semangat sambil menyesap teh yang kubuat. “Saya menonton semua film Anda, saya juga mengoleksi semuanya! Anda harus melihat kliping foto-foto Anda yang saya buat!”

Aku merasa sangat tersanjung. Kami mengobrol lama sekali, lalu karena sudah terlalu larut, aku menyuruhnya untuk menginap. Aku tidak pernah menyukai rumah yang besar, apalagi setelah suamiku meninggal bertahun-tahun yang lalu, jadi kuajak dia ke kamar tamu.

“Apa itu, Nyonya Broderick?” tanyanya, menunjuk kursi-kursi yang kututupi kain. Itu barang-barang kesenanganku, tapi anak kecil sepertinya takkan mengerti.

“Barang-barang tua,” jawabku. “Tidurlah, Nak.”

**

Beberapa jam kemudian, kudengar suara rintihan dari kamar itu. Kenapa pula anak itu? Mimpi buruk? Dasar anak kecil.

Atau jangan-jangan…

Aku memakai jubah tidurku lalu keluar kamar. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala waktu kulihat Patrick berguling-guling di ranjangnya, wajahnya pucat dan keringat dingin menderas di wajahnya seperti baru kehujanan.

“Ya ampun,” kataku. “Kau kenapa? Menyusahkan saja.” Tanganku mengelus wajahnya yang semakin lama semakin dingin. Bagus deh, tehnya bekerja baik. Kupikir racun tikus itu tidak bekerja lagi.

Patrick akhirnya berhenti bergerak, dan aku menarik tubuhnya ke salah satu kursi, yang (aku tahu) masih kosong. Kutarik kainnya, dan kududukkan tubuhnya di samping tubuh seorang pria lainnya, yang sudah mati di ranjang yang sama lima bulan lalu.

Seperti biasanya, aku melihat sekeliling, ke tembok yang sudah kutempeli banyak potongan koran. Bukan hanya Patrick saja yang hobi membuat kliping tentang diriku. Aku juga.

“JOANNE BRODERICK: BINTANG YANG REDUP DIMAKAN USIA”

Aku mendesah. “Sayang sekali aku harus kehilangan fans setia seperti kau, tapi nanti kau takkan bertahan lama seperti semua fans yang lain. Apalagi yang semuda dirimu. Better safe than sorry.”

0 komentar:

Posting Komentar

 

The Dreamland Tree Copyright © 2010 | Designed by: compartidisimo