Ibu tiriku kejam. Aku rasa hampir semua anak di dunia berpikir begitu
ketika ayah mereka menikah lagi. Dan dalam kasusku, itu memang benar.
Dia mau menikah dengan ayah hanya karena ayahku kaya, dan wanita itu
benci anak kecil. Kami adalah tiga bersaudara, aku (Marie), adik
pertamaku Richard dan yang terakhir Charles. Kami adalah hal yang
memberatkan Gerta dalam usahanya menguasai kekayaan ayah. Karena jika
ayah telah tiada, kami bertiga juga termasuk sebagai pewaris
kekayaannya. Jadi wanita itu mulai berperilaku jahat pada kami.
Dia mengirim Charles ke sekolah asrama jauh di seberang lautan. Sekolah
itu mempunyai reputasi baik dalam menghasilkan murid lulusan yang
berkualitas tapi juga termasuk sekolah dengan sistem keras dan dipenuhi
anak bengal untuk didisiplinkan. Bukan tempat bagi Charles yang lemah
fisik apalagi sejak kecil ia sering sakit sakitan. Dia sangat sengsara
berada di sana. Namun begitu Gerta terus memaksanya supaya tetap
melanjutkan sekolah dan hanya boleh kembali ke rumah saat libur musim
panas tiba. Ketika itu ia pulang setelah melalui semester pertamanya,
dia terlihat pucat dan kurus dengan lingkar hitam di sekitar matanya
yang tampak seperti luka memar. Saat ayah menyuruhnya kembali ke sekolah
- dia merengek - bahkan menangis! Tapi ayah tidak memperdulikannya.
Karena Gerta berujar pada ayah jika sekolah itu bagus untuk masa depan
Charles, dan akhirnya Charles pun kembali lagi ke sana.
Aku melakukan semua yang kubisa untuk terus menjalin hubungan dengan
Charles, mengiriminya surat pelipur lara, dan kusempatkan menelpon rutin
setiap hari - hingga Gerta bekata bahwa apa yang kulakukan menyebabkan
tagihan membengkak. Kemudian dia menetapkan peraturan menelpon hanya
boleh 5 menit sekali dalam sebulan. Maka dari itu aku meminta ayah untuk
memesankan tiket perjalanan ke Eropa supaya aku bisa mengunjungi
Charles. Saat Gerta mengetahui ini dia begitu marah. Mata birunya
memancarkan kesadisan hingga membuat bulu kudukku meremang dan bibir
merah mudanya memberengut sengit padaku sejak aku mulai berani
membantah.
Namun dua hari sebelum keberangkatanku ke Eropa, kami mendapat telpon
dari sekolah yang mengabarkan bahwa Charles telah memanjat ke menara
tertinggi di sekolah itu dan menggantung diri. Dia meninggal.
Tentu saja kejadian ini membuat ayah shock sedangkan Gerta bersorak
girang dalam hati busuknya. Untuk beberapa bulan, ayah terus mencurahkan
perhatiannya pada Richard dan aku, lebih banyak dari yang dia tunjukkan
sejak ibu meninggal. Tetapi Gerta amat mempesona dan ia lagi-lagi
merebut perhatian ayah kami. Kini setelah satu dari anak anak tirinya
yang amat ia benci sudah mati, maka dia mulai mengincar yang lain, dan
Richard malang adalah target selanjutnya.
Richard merupakan seorang remaja gagah yang hendak menjajaki tingkat
SMA, ia sangat berbakat dalam bidang olah raga. Dia pasti sanggup
bertahan menghadapi kehidupan sekolah asrama yang telah menumbangkan
Charles. Maka Gerta pun mengirimnya ke sekolah seni artistik. Richard
benci sekolah itu, tapi Gerta menghasut ayah dengan berkata kalau
Richard memiliki "bakat seniman", jadilah dia pergi ke sana. (Jangan kau
kira ayahku sudah belajar dari peristiwa yang menimpa Charles!)
Namun Richard adalah remaja yang tangguh, dengan tekun dia berlatih
memainkan piano dan biola ketika seharusnya ia bermain sepak bola atau
rugby. Tapi Gerta lebih pintar. Wanita itu mengenalkannya dengan
beberapa anak SMA yang sangat Richard kagumi, mereka kaya, populer dan
anggota klub rugby. Pergaulannya ini membawa Richard pada narkoba. Dan
Gerta diam-diam seolah mendukung kebiasaan terlarangnya itu, dengan
memberikan uang jajan berlebih dan membiarkan Richard tenggelam semakin
jauh ke dalam pengaruh obat obatan. Hingga puncaknya pada suatu hari,
Richard mengalami overdosis, dan dengan begitu Gerta hanya memiliki satu
orang anak tiri yang tersisa, yaitu aku.
Aku sangat yakin bahwa Gerta sebenarnya tahu kalau Richard sedang ngobat
hari itu. Dia juga tahu jika Richard kesakitan dan mungkin telah
sekarat di kamarnya. Kalau saja dia "menemukan" Richard bahkan jika
hanya sepuluh menit lebih cepat, nyawanya pasti masih bisa tertolong.
Begitulah kata Dokter, dan aku mempercayainya. Tapi ayah tak mau
mempercayaiku. Dia marah setiap kali aku membicarakan perilaku buruk
Gerta, dan menyuruhku untuk menjaga mulut. Meski begitu, aku tahu kalau
aku pasti akan jadi target selanjutnya, dan aku menduga setelah ayah
mewasiatkan seluruh warisannya kepada wanita itu, dia pasti takkan hidup
untuk waktu yang lama. Aku memutuskan jika Gerta bersikap terlalu
jahat, maka aku akan kabur diam diam ke rumah bibi di New Jersey untuk
tinggal bersamanya sampai aku menginjak usia 18 tahun.
Sejak saat penemuan mayat Richard di kamarnya, aku memaksa diri untuk
jadi anak teladan. Pekerjaan rumah kuselesaikan tepat waktu, selalu
bersopan santun di hadapan Gerta dan teman-temannya, ikut pergi ke ajang
pariwisata berkapal keluarga dengan Gerta dan ayah - meskipun acaranya
berbahaya semisal memancing hiu. Kau juga harus tahu betapa aku menjaga
jarak antara diriku dengan permukaan laut dan sebisa mungkin menjauhi
pinggiran kapal. Tapi Gerta lebih pandai dengan rencana-rencana
jahatnya. Semua orang berpikir bahwa kejadian dimana saat itu kami semua
sedang pergi keluar untuk berbelanja dan aku terjatuh ke lintasan
persis di depan kereta yang sedang melaju adalah sebuah kecelakaan.
Untung saja aku berhasil menghindar tepat pada waktunya, namun walau
begitu masih terlalu dini bagiku untuk merasa aman.
Aku hampir saja hendak kabur dari rumah ketika ayah mengabarkan sebuah
berita duka bahwa bibi di New Jersey telah meninggal saat tidur, karena
diracuni oleh seorang kenalannya atau orang orang yang tidak diketahui
siapa gerangan. Aku tertegun. Tidak mungkin Gerta bisa tahu? Tapi
sepertinya dia memang sudah tahu rencanaku - aku bisa melihat dari
senyuman licik di wajah wanita itu.
Malam itu aku pergi ke kamar dan mengurung diri untuk berpikir. Bisa
saja aku kabur, tapi uangku takkan cukup untuk waktu lama. Dan aku harus
menyelesaikan dulu pendidikanku atau musnah pula kesempatanku
mendapatkan pekerjaan. Lagi pula, Gerta masih dapat berkeliaran di luar
sana. Jika dia bisa menyewa seseorang untuk meracuni satu satunya sanak
familiku yang masih hidup (selain ayah), tentu saja dia juga bisa
melakukah hal serupa padaku, meskipun aku tetap tinggal di rumah ini
atau tidak.
Hanya ada satu cara lagi yang terbersit di pikiranku. Dan itu sangat
buruk untuk dilakukan. Rahasia keluarga yang telah diturunkan generasi
ke generasi dari pihak ibuku. Rahasia ini menyangkut tentang seorang
penyihir yang dijuluki Bloody Mary, sejak dulu ia berusaha membunuh
buyut dari nenek buyutku dan menggunakan darah anak kecil untuk
membuatnya tetap awet muda dan cantik selamanya. Penyihir itu dihentikan
oleh buyut dari kakek buyutku, dan ketika tubuhnya dibakar hidup hidup
dia mengutuk kakek buyut serta setiap cermin di rumah setiap orang yang
ikut menyeretnya ke altar pembakaran, sehingga jika seseorang menyebut
namanya di depan cermin cermin tersebut maka akan memunculkan arwahnya
yang penuh dendam kesumat.
Ceritanya telah berubah tahun ke tahun, dan awalnya tersebar dari desa
itu hingga ke kota kota besar. Sekarang ini, anak sekolah dimana saja
iseng iseng mengucapkan nama Bloody Mary di depan cermin redup untuk
menakut-nakuti diri mereka sendiri saat sedang melangsungkan pesta-pesta
menginap, dan tak terjadi apapun pada mereka. Jadi tak seorangpun yang
percaya akan kebenaran kutukan itu. Tentu saja, karena tak ada yang tahu
cerita yang sesungguhnya tentang Bloody Mary. Yang mana telah terpendam
jauh dalam kenangan para penduduk desa itu sejak dulu dulu sekali.
Namun aku adalah keturunan langsung, dan aku tahu bagaimana cara untuk
memanggil si penyihir. Kau harus memakai cermin milik seorang keturunan
langsung dari salah satu penduduk desa tempat Bloody Mary dulu pernah
tinggal. Dan nama penyihir harus di ucapkan dengan logat asli dari
penduduk desa tersebut sebanyak jumlah tertentu serta bercahayakan
beberapa batang lilin.
Hal ini adalah perbuatan yang jahat, aku tahu itu. Tapi hanya ini cara
satu satunya untuk menyelamatkan hidupku. Harus Gerta atau aku yang
mati. Jika aku tidak melawan balik, nyawaku terancam. Jadi ku ambil
sedikit uang dari tabunganku lalu pergi ke toko alat alat khusus untuk
membeli beberapa lilin cetakan tangan. Yang berwarna hitam. Dengan
seksama ku ikuti langkah langkah yang dulu pernah ditunjukan ibu.
Kutempatkan setiap lilin di sekeliling ruang tengah dengan jarak
tertentu agar bayangannya terpantul ke cermin belakang sofa. Kemudian ku
nyalakan satu per satu, sambil membaca mantera yang telah turun temurun
diturunkan di pihak keluarga ibuku. Setelah itu aku menunggu. Ayah
sedang melakukan perjalanan bisnis, dan Gerta pergi berpesta ke luar
bersama pacar barunya. Dia tiba di rumah larut malam, lalu mengomel
karena aku masih belum tidur. Suarannya genit seperti wanita murahan -
aku benci suara itu. Bertingkah seolah dia wanita baik. Tapi aku dapat
menangkap sedikit rasa curiga dari nada bicaranya, sambil dia terus
mengamati pijaran lilin-lilin hitam itu.
"Kau sedang menyembunyikan sesuatu, Marie kecil?" tanyanya, sambil
menekan nada bicaranya saat berkata kecil, dia tahu aku benci dipanggil
begitu.
"Aku hanya sedang belajar dengan cahaya lilin," jawabku berbohong, sambil membalik halaman di bukuku.
Gerta mengerutkan dahi. "Kau tahu, Marie kecil, aku rasa saat ini kita
harus bicara serius," tegasnya, lalu berjalan ke depan cermin di
belakang sofa dan merapikan rambutnya.
"Ya," kataku pelan. "Kita harus bicara. Kau sudah membunuh kedua
saudaraku. Dan juga bibiku. Tapi takkan kubiarkan kau menghabisiku."
Gerta tergelak oleh tawa. "Memangnya kau bisa apa!" sahutnya, lalu
mengibaskan rambut pirangnya yang panjang ke belakang punggung.
Ku ucapkan nama Bloody Mary dengan logat keturunan para leluhurku.
Sekali. Dua kali. Tiga kali. Di cermin, bayangan Gerta memecah menjadi
kilatan merah, dan muncul seraut wajah lain memandang tajam. Wajah carut
marut bengis, yang telah rusak oleh waktu, dan memancarkan kekejaman
luar biasa. Aku bersembunyi di balik sofa sembari Gerta memekik penuh
kengerian, sepasang matanya terpaku pada sosok sang penyihir. Aku
mengintip dari tempat persembunyianku, hawa panas membara menyeruak dari
depan cermin, menyengat kulit cantiknya yang seputih batu pualam. Aku
dapat mendengar semburan lidah api menjilat jilat sambil penyihir itu
tertawa jahat lalu merentangkan tangannya ke arah ibu tiriku.
"Gerta," bisik Bloody Mary. "Datanglah padaku, Gerta."
Dan direngkuhnya ibu tiriku ke dalam dekapan tangannya.
Jeritan Gerta lenyap begitu saja. Bara api yang tadi menjilat njilat pun
sudah tak nampak. Ketika aku kembali mengintip, Gerta dan Bloody Mary
sudah menghilang.
Aku menelpon ayah di hotelnya ke esokan pagi untuk mengabarkan bahwa
Gerta tidak tidur di rumah. (memang begitu kan!) ayah tidak senang
mendengarnya. Dia kemudian menelpon beberapa teman Gerta dari kamar
hotelnya, dan segera saja mengetahui bahwa Gerta punya kekasih simpanan
lain. Beberapa simpanan, sebenarnya. Ayah sangat membenci
perselingkuhan. Dia segera pulang untuk mendamprat Gerta, tapi wanita
itu masih menghilang, ayah menduga dia kabur dengan seorang lelaki
gelapnya.
Akhirnya, ayah memutuskan untuk menceraikan Gerta tanpa harus mememuinya
terlebih dahulu. Dan karena wanita itu tak memiliki sanak saudara lain,
kecuali kami, semua orang menerima saja cerita yang terdengar bahwa dia
telah kabur dan tak seorangpun yang berusaha mencari dimana dia berada.
Gerta sudah pergi. Dengan begitu ayah dan aku akhirnya selamat sentosa.